OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
SECARA umum relatif tidak ada perubahan mendasar dari hasil perolehan ranking dalam perolehan pilpres periode pra pemilu dibandingkan dengan hasil hitung cepat per 14 Februari 2024. Akan tetapi masih terdapat indikasi sangat kuat terjadinya pemilu satu putaran terkesan telah sangat mengguncang pihak-pihak yang kalah.
Kalah dalam persaingan untuk menang pilpres dan pileg. Teknologi hitung cepat walaupun bukan merupakan fenomena yang baru untuk pemilu di Indonesia, terutama di negara-negara maju, namun tingginya perbedaan antara harapan dengan hasil hitung cepat (quick count) terkesan menimbulkan beragam sikap.
Terdapat perbedaan waktu antara Indonesia timur, tengah, dan barat. Kemudian dimungkinkan untuk melaksanakan proses perhitungan suara setelah semua voters yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap telah selesai mencoblos surat suara dan telah tiba waktu untuk menghitung suara. Akan tetapi proses hitung cepat tetap saja masih mengejutkan pada sebagian orang di Indonesia barat.
Mereka ini ada yang menyelesaikan perhitungan suara di TPS hingga sampai pagi hari berikutnya. Hal itu untuk memenuhi jadwal penghitungan suara 14-15 Februari 2024 dan rekapitulasi secara berjenjang 15-20 Maret 2024.
Akan tetapi, tetap masih ada saja orang yang sangat terkejut setelah mengetahui proses hitung cepat sudah selesai mengumumkan hasil perhitungan suara sampling di tingkat nasional hanya beberapa jam setelah selesainya penutupan pencoblosan suara di TPS pada tanggal 14 Februari 2024. Terlebih diikuti oleh pengumuman paslon yang menang hasil hitung cepat setelah Magrib Waktu Indonesia Barat.
Kemajuan teknologi informasi terbaru dan alat komunikasi ternyata masih menimbulkan keterkejutan luar biasa atas implikasi pilpres satu putaran. Hanya satu kata yang kemudian terucap dari pihak yang kalah dan tidak puas, yaitu curang. Mustahil.
Terlebih ketika tim sukses paslon yang kalah melakukan konferensi pers menyatakan mencurigai teridentifikasi telah terjadi dugaan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Ditambahkan proses evaluasi pemilu yang dieksploitasikan sejak awal tentang fenomena curang jika kalah dalam pemilu, maka respons bernada negatif terhadap hasil hitung cepat bernada semakin keras.
Bukan hanya minta hasil hitung cepat dicabut dari publikasi, supaya tidak mengganggu perhitungan real count KPU, baik untuk publikasi hasil sistem informasi rekapitulasi KPU menggunakan internet, maupun terhadap perhitungan rekapitulasi secara manual. Padahal gagasan hitung cepat antara lain bertujuan untuk mengawal hasil perhitungan real count KPU.
Pihak yang lain bahkan menyatakan aspirasi berupa pemilu mesti diulang. Dibatalkan. Akan tetapi bukannya terlebih dahulu membawa semua bukti-bukti dugaan kecurangan untuk dilaporkan ke Bawaslu, ataupun menjadikan persiapan untuk mengajukan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Terdapat juga kelompok-kelompok kepentingan yang menyampaikan aspirasi bukan hanya mengulang atau membatalkan pemilu, namun lebih jauh dengan memakzulkan presiden.
Jadi persoalan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemilu 2024 oleh sebagian kelompok kepentingan bukan hanya sekedar melontarkan narasi kegusaran tentang anomali antara hasil hitung cepat pada perolehan pileg peraih suara terbanyak dibandingkan suara terendah dari paslon, juga lebih jauh berupa narasi pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilu, dan seterusnya.
Rupa-rupanya kritik terhadap fenomena otoritarianisme dan kediktatoran ternyata terkesan yang sebaliknya, berupa terbangun kebebasan dalam menyatakan pendapat secara terbuka tanpa rasa takut.
Terbantahkanlah keyakinan tidak ada demokratisasi dalam kebebasan menyampaikan pendapat, berserikat, dan berkumpul sebagaimana yang selama ini telah dikonstruksikan sangat keras oleh sebagian kelompok-kelompok kepentingan.
Berdasarkan hasil pemilu tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 sesungguhnya pemenang pilpres bukanlah senantiasa dihasilkan oleh parpol peraih suara terbanyak hasil pileg, maupun oleh adanya kepastian bahwa koalisi parpol pendukung yang memperoleh suara terbanyak dalam pileg. Hal itu tidaklah otomatis menjadi pemenang pilpres.
Akibatnya, isu anomali pemilu 2024 hasil hitung cepat terbantahkan.
Memang senantiasa dimungkinkan ada pihak yang tidak puas, bahkan berselisih. Jadi, penting sekali untuk kembali kepada kesepakatan nasional sebagaimana ketentuan UU Pemilu 7/2017 dan UUD 1945 hasil amandemen keempat satu naskah sebagai panduan dalam menyelesaikan keberagaman respons hitung cepat, maupun ketidakpuasan terhadap perselisihan hasil real count KPU.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana.
Tidak ada komentar