METROSUAR.COM – Fenomena pusaran angin yang melanda wilayah Rancaekek dan sekitarnya, Rabu (21/2) lalu, mendapat perhatian dosen Program Studi Meteorologi, Nurjanna Joko Trilaksono, dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kajian diawali dengan survei kondisi lapangan, dibantu Tim Lab Meteorologi Terapan ITB, pada Kamis (22/2) dan Minggu (25/2), dengan metode tanya jawab secara langsung kepada masyarakat terdampak.
Berdasar tanya jawab, di hari pusaran terjadi, tepatnya pukul 15.34 WIB, terlihat pusaran yang tidak tetap di bawah awan. Setelah sepuluh menit, pada pukul 15.44 WIB, terdapat pusaran yang muncul di permukaan.
Pusaran itu terus berjalan hingga diperoleh panjang jalur sekitar 4 kilometer. Dari waktu yang ada, bisa diperkirakan bahwa kecepatan rambat dari apa yang terlihat di pusaran kurang lebih 15 km/jam, dengan perkiraan pusaran hidup dan berjalan sekitar 30 menit.
Luas area kerusakan mencapai 305 hektare dengan lebar 516 meter. Tipe-tipe kerusakan yang terjadi, mulai dari atap yang hilang, bangunan roboh, dan pohon tumbang.
Pantauan citra Satelit Himawari-9 di daerah cekungan Bandung, Bandung Timur, menunjukan, pada pukul 14.00 WIB daerah sekitar Rancaekek relatif cerah dan clear, sementara satu jam berikutnya mulai terdapat awan-awan yang tumbuh. Awan itu adalah awan cumulonimbus yang tumbuh secara cepat di tropopause.
Pada Desember, Januari, dan Februari (DJF), terdapat musim monsun Asia yang masuk ke wilayah Pulau Jawa dari arah barat, sehingga di wilayah Rancaekek dan sekitarnya potensial terbentuk awan konvektif, karena masih ada uap air yang cukup serta terdapat aliran yang masuk dari sela-sela pegunungan sekitar Sumedang.
Aliran yang terpisah ini bakal menciptakan adanya wind shear (perbedaan kecepatan arah angin) yang menyebabkan aliran menjadi berputar. Hal ini yang diperkirakan sebagai mekanisme pembentuk dari pusaran.
“Melalui kajian yang sudah ada di Meteorologi, adanya aliran pola yang berputar ini disebut dengan tornado, terlepas dari berapa intensitasnya. Maka dari itu, fenomena ini kita sebut tornado. Itu merupakan hasil dari asesmen yang telah kita lakukan,” ujar dia seperti dikutip dalam keterangan ITB, Minggu (3/3).
Disinggung soal tornado di Rancaekek yang pertama di Indonesia, Nurjanna Joko Trilaksono menjelaskan, berkaca melalui fenomena yang terjadi dari cumulonimbus, ini bukan hal yang langka.
“Kita bisa yakin dan bilang bahwa itu bukan yang pertama,” ucapnya, Minggu (3/3).
Menurut dia, BMKG mempunyai cara lain untuk mendefinisikan puting beliung atau tornado berdasarkan kekuatannya. “Kalau kita mendefinisikan tornado berdasarkan proses fisisnya. BMKG melihat dari aspek kekuatannya yang tidak besar, maka dimasukkan ke dalam kategori puting beliung, meski puting beliung adalah small tornado,” tuturnya.
“Hal yang ingin saya highlight adalah mau tornado atau puting beliung, daripada meributkan itu, lebih baik melihat apa yang menjadi dampak dari awan cumulonimbus ini. Meski kadang seringnya kecil, tetapi bisa juga menjadi besar dan merusak apa yang ada di permukaan. Lebih baik terus belajar, sehingga kita tahu apakah objek cumulonimbus ini bisa menghasilkan bencana dan dampak yang besar atau tidak,” imbuhnya. (*)
Tidak ada komentar