x

Mengupas Pemikiran Shaykh Abdalqadir as-Sufi

waktu baca 6 menit
Rabu, 1 Mei 2024 15:21 0 111 adminmetrosuar

Oleh: Ahmad Arif*

SHAYKH Abdalqadir as-Sufi dikenal sebagai ulama tasawuf yang aktif terhadap dinamika sosial dan politik kehidupan umat Islam. Abdalqadir as-Sufi (nee Ian Stewart Dallas lahir pada 31 Desember 1930 dan wafat pada 1 Agustus 2021). Dia adalah seorang syekh, pemimpin Darqawi-Shadhili-Qadiri Tariqa, pendiri Gerakan Murabitun dan penulis buku tentang Islam, serta teori politik.

Ia lahir di Skotlandia. Ia juga seorang penulis drama dan aktor sebelum ia masuk Islam pada tahun 1967 dengan Imam dari Masjid Qarawiyyin di Fez, Maroko.

Sebagai ulama tasawuf, pemikirannya tentang Sufi dituangkannya dalam berbagai tulisa. Dikutip dari buku berjudul “Iman dan Pendidikan”, Shaykh Abdalqadir as-Sufi mengupas dalam tentang hakikat tasawwuf.

.”..Anda harus mengerti bahwa para sufi bukan kaum esoteris (kebatinan). Mereka bukan orang-orang yang membaca naskah dan menafsirkannya dalam satu cara yang membuat khalayak merasa nyaman. ITU BUKAN TASAWWUF. Abu Madyan, seorang sufi besar dari Maroko berkata, “Sufisme tak lain adalah belajar”. Shaykh Muhammad ibn al-Habib, Radiyallahu’anhu, berkata, “Sejauh yang kami ketahui, para Shaykh adalah para dokter, salihun-mereka yang berakhlak mulia-adalah para perawat ya, dan dunia ini adalah rumah sakit,” tulisnya.

Ketika pengajaran seperti ini hidup, maka ia tidak berurusan dengan pribadi-pribadi, hak-hak, ritus-ritus, para Shaykh, berbagai Tariqah, upacara inisiasi, bai’at dan SEMUA SAMPAH ITU- itu tidak menarik. Yang menarik adalah memuliakan orang-orang, karena begitulah Islam itu, dan itulah, dalam bahasa modernnya, sesuatu hal yang diperlukan. Manusia telah direndahkan. Dia kini sudah masuk katagori “sub”. Kita telah dijadikan sub-human (dibawah manusia). Karena itu kita harus meraih gambaran Nietzsche tentang menjadi “ubermensch” sebagai sebuah tugas Islami kita, sebuah seruan Islami. Dakwah Islam adalah menyeru manusia agar menjadi lebih baik dari mereka sebelumnya. Seperti ditunjukkan oleh Nietzsche, Anda tidak bisa tiba-tiba memiliki seorang Overman (Manusia Unggul). Anda harus membangun sebuah jembatan menuju Overman sambil berkata, “Cara yang kita jalani ini tidaklah cukup, kita telah direndahkan, maka kita harus secara sadar “MERUBAH DIRI KITA SENDIRI” .

Kita tidak dapat merubah massa yang banyak, karena pada massa yang banyak ini terdapat segala jenis penyakit. Namun mereka yang memiliki kesadaran haruslah mengajari kembali DIRI MEREKA SENDIRI dan dari kelompok ELIT yang telah belajar kembali itulah akan menghasilkan banyak pahlawan yang akan mampu pada saatnya untuk membawa kembali segala sesuatunya ke derajat sempurna pada umumnya yang telah hilang itu. Pertanyaannya adalah maukah anda mengembalikannya atau tidak?

Zombifikasi

Menyoroti fenomena kehidupan saat ini ia pun menyebut manusia modern sekarang tak ubahnya seperti zombie-zombie. Dikutip dari buku “”Membongkar Sistem Kufur”, ia mengungkap kehidupan manusia akibat adanya sistem zalim yang meninggalkan ketauhidan.

“Dalam selubung kekufuran segala peristiwa yang disajikan di hadapan publik, tidaklah bisa dimengerti dengan mudah oleh orang awam. Atau lebih tepatnya dimengerti secara keliru. Segalanya nampak sebagai kebenaran kecuali dibongkar kode-kode sandi yang melindunginya. Sesungguhnya segala sesuatu mengandung agenda terselubung. Masa dikendalikan dan dikuasai melalui ilusi, sihir. Seperti fir’aun yang mengendalikan rakyatnya dengan sihir. Dan sihir itu dijaga, dilestarikan, melalui para tukang sihir dari kuil-kuil mereka.

Di zaman ini segelintir elit penguasa mengendalikan massa juga dengan sihir. Kehidupan diciptakan dalam pola tertentu, melalui pengondisian sosial, sejak manusia lahir sampai matinya.

Shaykh Abdalqadir As-sufi menyebutkan seluruh proses pengondisian sosial itu, yang menghasilkan kendali absolut atas massa publik, sebagai Zombifikasi. Ia membimbing kita dalam membongkar kode-kode sandi yang membuat proses itu (pengondisian sosial) berlangsung dengan nyaman. Tanpa reaksi. Tanpa perlawanan. Massa publik menuruti dan patuh (OBEY).

Ruwaibidhah

Kehidupan politik yang melingkupi di hampir seluruh negara dengan menggunakan sistem demokrasi turut menjadi perhatiannya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Para pendusta dipercaya, sedangkan orang jujur dianggap berdusta. Penghianat diberi amanah, sedangkan orang yang amanat dituduh khianat. Dan pada saat itu para Ruwaibidhah mulai angkat bicara. Atas pernyataan Rasul Shallallahu’alaihi wa Salam itu seorang sahabat bertanya: Siapa itu Ruwaibidhah? Nabi Sallaallahu’alaihi wa Salam menjawab, Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak.

Tidakkah hal itu yang kita alami hari ini? Di masa kita hidup inilah kaum Ruwaibidhah, orang-orang dungu tapi berkuasa, berkeliaran di tengah masyarakat.

Dikutip dari buku ”Melucuti Para Politisi”, Shaykh Abdalqadir as-Sufi mengemukakan pertanyaan, “dari manakah datangnya kaum dungu berkuasa ini, dan bagaimana mungkin mereka muncul di atas kebanyakan orang, termasuk mereka yang lebih baik, lebih cerdas, dan lebih layak memimpin masyarakat?”

Kemunculan orang-orang dungu berkuasa ini, menurut Shaykh Abdalqadir As Sufi, tidak lain karena sistem politik yang berlaku hari ini : DEMOKRASI. Pemilu yang dirancang sebagai alat untuk melahirkan pemimpin terbukti menjadi jalur munculnya orang-orang yang justru paling tidak layak, mengambang dari lapis terbawah masyarakat.

Dalam sistem demokrasi kita dipimpin oleh kelas POLITISI, yang bermunculan dari lapis bawah masyarakat, bukan lapis terbaiknya yang layak memimpin.
Friedrich Nietzsche, Sang Pendendang Sabda Zarathustra, jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti bahwa demokrasi hanyalah sistem yang benar-benar cocok bagi Bangsa Sontoloyo.

Demokrasi, bagi Nietzsche adalah suatu gejala yang menunjukan bahwa suatu masyarakat telah membusuk hingga tak lagi mampu melahirkan pemimpin-pemimpin agung. Lebih jauh ia mengatakan bahwa demokrasi yang menyamakan semua manusia, bertentangan dengan kodrat alam yang realitasnya membeda-bedakan derajat manusia. Doktrin persamaan adalah Kebohongan. Bagi Nietzsche, kawula adalah kawula, raja adalah raja.

Orang-orang yang layak memimpin bagi Nietzsche, hanyalah mereka yang dilahirkan sebagai Ubermensch, Manusia Unggul, yakni manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, lebih berani, serta lebih mengayomi dan melayani. Hanya Para Ksatria-lah (noble) yang memiliki daya panggil kekesatriaan sejati (noblesse oblique) yang tak mungkin diperoleh secara Instan melalui prosedur asal contreng ala DEMOKRASI.

Menurut Shaykh Abdalqadir As Sufi, Para Politisi tak lebih hanya kasim yang dikebiri. Bukan dikebiri secara fisik, melainkan dikebiri secara psikis, hingga kehilangan jatidiri dan integritas politik, dan hanya mengabdi kepada tuan-tuan besar cukongnya (bankir). Kita lihat, setiap kali para politisi dengan sangat patuh terus mengambil utang berbunga guna membiayai diri mereka, dan segala proyek-proyek, yang hanya menguntungkan kaum pemodal, dan terus memajaki rakyatnya sendiri, demi memenuhi kewajiban mereka kepada para bankir.

Para Politisi (Ruwaibidhah) tidak peduli rakyat. Mereka hanya peduli kepada tuannya (para bankir) dan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia menghendaki suatu perubahan sistem yang mana sejalan dengan pemikiran founding fathers NKRI soal Pancasila. Negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sistem musyawarah mufakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.

“Jadi tatkala ksatria mengangkat perisainya untuk memenuhi takdir pribadinya, di sana bisa terlihat bahwa yang memberinya pertahanan adalah keseluruhan dari eksistensi alam” (Ian Dallas, Perisai Achilles)

“Jika kita memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya” (Sukarno). (*)

“Penulis adalah founder Republikein Studieclub

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x