OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
SEBUAH gambar berbentuk pie hasil perhitungan real count sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI muncul dalam Sirekap KPU. Gambar tersebut merupakan hasil rekapitulasi per 1 Maret 2024 pukul 04:00:01 berdasarkan hasil 77,90 persen dari 823.236 Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Potongan pie pertama menyajikan paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memperoleh 75,37 juta suara (58,83 persen). Potongan pie kedua menyajikan paslon Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar memperoleh 31,38 juta suara (24,49 persen).
Selanjutnya terakhir adalah pie ketiga, yang menyajikan paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memperoleh 21,37 persen (16,68 persen). Hanya itu yang tersajikan dalam gambar berbentuk pie. Sama sekali tidak ada informasi dan variabel yang lain dalam gambar berbentuk pie.
Tafsir umum terhadap gambar berbentuk pie tadi ditafsirkan bahwa paslon Prabowo dan Gibran menjadi pemenang sementara pilpres. Oleh karena paslon Prabowo dan Gibran memperoleh suara lebih dari 51 persen, maka yang terjadi adalah pilpres sementara berlangsung satu putaran. Implikasinya adalah tidak ada pilpres putaran kedua.
Akan tetapi persoalannya kemudian adalah terdapat penafsiran yang berbeda pada hasil pengolahan data gambar berbentuk pie tersebut. Beda tafsir tersebut, pertama adalah terjadi kecurangan dalam pilpres, karena mustahil paslon Prabowo dan Gibran dapat mencapai perolehan suara lebih dari 51 persen.
Sekalipun gambar berbentuk pie tidak menyajikan variabel yang lain, seperti variabel kecurangan dan variabel kemustahilan, namun Ganjar amat sangat tidak percaya hanya memperoleh ranking ketiga pilpres dengan perolehan suara sebesar 16,68 persen.
Argumentasi dari Ganjar adalah ketika kampanye berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia terkesan senantiasa dihadiri oleh sangat banyak orang penonton. Penuhnya kampanye tertutup dan kampanye terbuka menjadi indikator Ganjar dan pengatur jadwal kampanye untuk tidak percaya bahwa perolehan suara mereka hanya mencapai 16,68 persen.
Penuhnya penonton diasumsikan semua voters di Indonesia semuanya, minimal mayoritas memilih paslon Ganjar dan Mahfud MD. Bahkan tim sukses meyakini sebagai pemenang pilpres dengan perolehan ranking pertama.
Artinya, data gambar berbentuk pie sebesar 21,37 juta suara (16,68 persen) ditafsirkan sebagai informasi bohong. Keyakinan dari tim sukses adalah ranking ketiga ditafsirkan sebagai ranking pertama.
Kemudian perolehan suara sebesar 16,68 persen ditafsirkan sebagai lebih dari 51 persen, yakni dengan memustahilkan Sirekap dan yakin menang satu putaran sebagaimana ketika Ketum PDIP memberikan pengarahan pada waktu kampanye terbuka untuk mensukseskan pilpres satu putaran.
Mengajukan argumentasi terjadi kecurangan dalam pilpres. Meyakini Sirekap pilpres tidak benar, sehingga tim sukses dan sukarelawan minta Sirekap dihentikan. Bahkan secara ekstrim meminta perhitungan rekapitulasi real count KPU dihentikan.
Kemudian para sukarelawan melakukan demonstrasi menggunakan aspirasi tidak percaya kepada kinerja KPU mulai dari TPS hingga KPU RI. Juga tidak percaya kepada Bawaslu. Tidak percaya kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Respons Ganjar terhadap Sirekap kemudian adalah mengusulkan, agar DPR RI mengajukan hak angket. Hal itu, karena Ganjar terkesan tidak percaya terhadap kredibilitas dan akuntabilitas dari Sirekap KPU, terkesan tidak percaya terhadap kinerja KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK, namun lebih percaya kepada mekanisme di luar UU Pemilu 7/2017, seperti mekanisme Rapat Kerja DPR RI, hak interpelasi, dan terutama hak angket.
Aspirasi dari Ganjar tentang pengajuan hak angket tersebut direspons setuju oleh Anies, tim sukses Ganjar, eksponen PDIP, dan tim sukses Anies.
Terkesan sama saja sebangun seratus persen, Anies membaca data gambar berbentuk pie sama dengan tafsir yang digunakan oleh Ganjar.
Baik Ganjar dan Anies menyajikan variabel yang sama sekali tidak muncul dalam gambar berbentuk pie, yaitu variabel kecurangan dan variabel kemustahilan.
Bahkan tim sukses paslon Ganjar dan Mahfud MD maupun Anies dan Muhaimin menambahkan banyak sekali variabel lainnya, yang tidak muncul dalam gambar berbentuk pie.
Misalnya: politisi bansos, ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN), ketidaknetralan TNI-Polri dan BIN, ketidaknetralan Kepala Desa/Kelurahan, ketidaknetralan Presiden Joko Widodo, politik uang yang bersumber dari luar APBN, pelanggaran MK 90, dan seterusnya.
Akibatnya, diskursus tidak percaya terhadap hasil hitung cepat dikonstruksikan lebih meluas menggunakan variabel-variabel penjelas, yang sama sekali tidak muncul pada gambar berbentuk pie hasil sementara rekapitulasi KPU.
Banyak sekali energi yang dihambur-hamburkan dalam membahas hak angket, yang diusulkan oleh Ganjar. Energi untuk mengungkapkan “kebenaran”. Kebenaran yang mensyaratkan memerlukan penyelidikan oleh DPR kepada pemerintah, seperti Kemendagri untuk Daftar Pemilih Tetap.
Kemensos untuk bansos. Kemenpan untuk ASN. Panglima TNI, Kapolri, dan BIN untuk TNI Polri. Kemenkeu untuk APBN. Kemendes untuk Kepala Desa. Menko Polhukam dan Menko Perekonomian untuk peran keterlibatan pemerintah. Kemenkumham untuk masalah hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Kesemua hiruk pikuk hak angket yang diusulkan oleh Ganjar untuk menyelidiki tentang apakah perolehan suaranya benar sungguh-sungguh hanya 16,68 persen. Untuk mencari “kebenaran” tentang apakah perolehan suara sebesar 16,68 persen itu adalah sebagai pemenang pertama pilpres dan sebagai pemenang pilpres satu putaran.
Untuk menjawab persentase perolehan suaranya tentang mengapa sama dengan hasil hitung cepat. Untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa persentase perolehan suaranya tidak bergerak naik, namun perolehan suara paslon yang lain masih bisa bergerak naik. (*)
Penulis adalah: Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana.
Tidak ada komentar