OLEH: QOMARUDDIN
DEMOKRASI yang dipercaya sebagai sistem yang paling ideal dalam sebuah negara ternyata masih banyak menyisahkan masalah dan pertanyaan-pertanyaan fundamental. Demokrasi yang dianggap bisa menghadirkan kebaikan namun fakta yang muncul malah menjadi penyumbang utama destruktifikasi sosial.
Demokrasi yang belum menemukan bentuknya telah banyak memunculkan fenomena kebrutalan dalam sistem ketatanegaraan kita. Mulai dari proses sampai pada hasilnya. Banyaknya kejadian kontradiksi dan kejadian anomali menimbulkan banyak pertanyaan yang penuh asumsi negatif dan mengendap dalam semua pikiran masyarakat Indonesia, apalagi pasca Pemilu 2024 (one vote direction).
Banyak pernyataan publik yang mengatakan bahwa Pemilu 2024 ini adalah pemilu yang paling brutal. Saking brutalnya membuat publik apatis dengan keadaan sekarang. Fenomena kebrutalan ini akhirnya membuat publik terefleksi secara sepontan bahwa demokrasi hari ini telah menegasikan nilai-nilai keuniversalannya.
Kita semua pernah belajar tentang sejarah dan perkembangan demokrasi, di mana sebagai negara demokrasi banyak menjanjikan hadirnya social justice, liberty, welfare state, unity, humanity and morality maupun nilai lainnya.
Namun faktanya publik tidak merasakan sepenuhnya bahwa demokrasi menghadirkan nilai tersebut. Yang ada malah sebaliknya. Sehingga kita akhirnya bisa memberi penilainan baru bahwa demokrasi dengan berbagai postulannya merupakan sistem yang belum bisa memberi dampak positif.
Dengan munculnya fenomena brutalisasi demokrasi ini, kita akhirnya bisa menyanggah beberapa teori tentang munculnya negara demokrasi. Misalnya tidak terpusatnya kekuasaan tidak menjamin adanya kebebasan, tidak juga menjamin mewujudkan kesejahteraan.
Anomali yang terjadi dimana-mana sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa sistem demokrasi yang digunakan namun praktiknya sangat oligarki dan otoriter yang semena-mena. Akhirnya dengan berbagai kejadian ini publik menyimpulkan dengan kata brutalisme demokrasi.
Dulu Thomas Hobbes pernah mengatakan bahwa negara harus bisa menjadi leviathan agar kuat dan ditakuti. Sekarang dengan sistem demokrasi yang belum menemukan bentuk idealnya semua instrumen menyumbang watak leviathan dalam dinamika demokrasi sekarang.
Bahkan di era demokrasi brutal ini muncul secara riil kejadian manusia adalah sebagai serigala bagi manusia lainnya (homo homoni lupus). Mereka tega memangsa sesamanya demi syahwat kemenangan dan penguasaan. Begitu destruktifnya keadaan demokrasi brutal sekarang ini.
Dalam buku Steven dan Daniel Ziblat mengatakan bahwa matinya demokrasi salah satunya dikarenakan adanya para demagog. Namun di era sekarang para demagog bukan hanya hadir pada kekuasaan saja, makhluk dan sifat demagog ini muncul diberbagai tempat. Di partai, lembaga-lembaga penting sampai bersemayam juga di masyarakat. Bahkan bukan hanya mahkluk demagog saja yang tumbuh subur, para opertunisme pun subur menjangkit di semua lini kehidupan.
Kerusakan sekarang ini sudah pada level parah. Watak Mechiavelli bertaburan seantero Nusantara. Semua menghalalkan segala cara demi memenuhi syahwat para watak opertunisme dan para demagog, semua menjadi benang kusut yang sulit untuk di urai. Yang ada siapa menyalahkan siapa! Tidak ada perayaan kesadaran bersama atas semua tindakan ini. Bahkan keadaan apatisme muncul dimana-mana atas keadaan yang jengah ini.
Artinya bahwa keadaan seperti ini tercipta bukan karena kesalahan satu variabel saja. Keadaan ini juga tidak bisa dinisbahkan misalnya sepenuhnya pada penguasa saja, mungkin presentasinya yang dominan iya, tapi semua secra tidak sadar juga memberi sumbangan atas ketidak normalan keadaan sekarang.
Jika kita boleh meminjam istilah Sigmund Freud bahwa fakultas ID manusia (alam bawa sadar manusia) secara tidak disadari seragam bergerak serentak yang bermuara pada perusakan sistem yang kita bangun sendiri dengan menjadi para demagog, opurtunisme dan pragmatisme. Idealisme dan nilai universal yang dimiliki tidak begitu bisa dipertahankan sehingga semua menjadi absrud.
Kita semua saat ini seperti kehilangan arah, untuk memastikan kapan era ini disudahi pun tidak bisa menentukan. Seolah-olah kita hidup hanya pada satu dimensi, keyakinan tentang eskatologipun sirna dalam dinamika sekarang, yang ada adalah orentasi kekuasaan semata. Sebagai anak bangsa tetaplah bergerak untuk lebih baik, dan semoga hari-hari ke depan Ibu Pertiwi bisa melakukan recovery menjadikan negeri ini lebih baik lagi. (*)
Penulis adalah Sekretaris DPC Partai Demokrat Lamongan
Tidak ada komentar