Oleh: Shaykh Umar Ibrahim Vadillo*
PENGANGGURAN bukanlah akibat tenaga kerja manusia diganti oleh kehadiran mesin-mesin. Ini tidak benar.
Mesin memang bisa menggantikan kerja manusia, tetapi ini tidak membuktikan bahwa pengangguran terjadi akibat teknologisasi proses-proses produksi, kecuali jika kita menganggap bahwa satu-satunya cara untuk meraih pendapatan adalah dengan menjadi seorang pekerja yang bekerja demi upah. Dan ini pun tidak benar.
Sebelum anda menganggap bahwa bekerja adalah menjadi seorang pekerja, kita harus kaji lebih dahulu apa sebenarnya yang memaksa kita menjadi pekerja, sehingga kita tidak mampu memiliki usaha sendiri (berswakarya). Mengapa tidak kita ganti saja istilah “penganggur” (tuna-karya) menjadi “tuna-swakarya”?
Mengapa tiba-tiba khalayak digolongkan sebagai pekerja atau penganggur, padahal sejarah membuktikan bahwa di masa silam sebagian besar khalayak berswakarya? Benarkah biang keladi pengangguran adalah teknologisasi proses-proses produksi? Salah, di sinilah justru kebohongannya.
Riba adalah satu-satunya penyebab keadaan yang konon disebut sebagai “pengangguran”, atau lebih tepat, ribalah satu-satunya penyebab musnahnya berkesempatan untuk berswakarya.
Intisari bisnis dan usaha adalah perdagangan, yaitu membeli lalu menjual. Selama masih ada orang yang memiliki sesuatu, dan masih ada orang yang ingin memiliki sesuatu, perdagangan akan selalu ada. Perdagangan tidak akan berkurang dengan adanya mesin-mesin, karena mesin tidak memiliki barang dagangan, mesin hanya bisa dijadikan sebagai alat produksi atau untuk aneka kegunaan lain. Para pekerja dapat digantikan oleh mesin-mesin, tetapi pedagang tidak.
Perdagangan tidak bisa dimusnahkan oleh mesin-mesin, namun bisa punah dengan adanya bunga sistem perbankan, yang apapun istilah maupun jenisnya, tetap saja riba.
Tingkat suku bunga bank berfungsi sebagai rintangan yang akan mematikan setiap usaha yang berada di bawahnya.
Jika suku bunga bank adalah 10 persen, maka tak seorangpun akan menanam modal dalam proyek usaha baru apapun yang berancar-ancar akan berbagi hasil sejumlah 6 persen dari modal; dan bila anda sedang melangsungkan usaha dengan bagi hasil 6 persen, maka anda akan terpikat untuk melego saja usaha anda dan menimbun uangnya di bank. Dengan demikian setiap usaha yang berada di bawah suku bunga 10 persen itu akan punah.
Margaret Thatcher dan para pakar moneter menyebut hal itu sebagai “penyingkiran usaha-usaha yang tidak berdaya saing”, demi meningkatkan “daya saing” negara. Namun mereka tidak menyatakan bahwa sebenarnya terdapat jauh lebih banyak usaha yang bisa dijalankan dengan keuntungan yang sangat kecil. Usaha yang bisa berkeuntungan besar hanya segelintir, yang lebih banyak adalah usaha-usaha berkeuntungan kecil. Dan sebagian besar usaha-usaha yang untungnya kecil itu adalah usaha kecil. Jadi sesungguhnya, fungsi suku bunga tadi adalah pemusnahan kesempatan hidup bagi mayoritas usaha kecil, demi peningkatan daya saing.
Jadi bagaimana mungkin pemusnahan usaha-usaha kecil bisa disebut sebagai “peningkatan daya saing”, padahal kita memahami bahwa lebih baik ada 20 usaha kecil, dibanding dengan hanya satu usaha yang 20 kali lipat lebih besar? Apalagi manajemen swakarsa tentu lebih luwes dibanding manajemen birokratis piramidis. Di sinilah perbedaan antara perusahaan swakarya dengan perusahaan raksasa. Hal ini pula yang seharusnya menjadi nilai lebih pasar bebas dibanding komunisme.
Jadi tujuan mereka “meningkatkan daya saing” adalah, agar hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang bisa hidup, berkat raibnya gangguan dari usaha-usaha kecil pesaingnya, dan tentunya berkat berubahnya para pengusaha mandiri itu menjadi tenaga kerja murah dan rendah diri.
Dampak dari uang kertas yang dibuat seolah-olah ada nilainya dan tersedia dalam jumlah yang besar adalah: pembasmian usaha-usaha kecil. Tingkat suku bunga secara paksa telah merubah khalayak pengusaha mandiri menjadi pekerja-pekerja upahan yang sangat taat dan menghamba.
Proses Berabad-abad
Kini kita telah kembali mencapai puncak feodalisme baru. Socrates dengan tegas menyatakan bahwa upah itu khusus untuk para kacung dan budak. Kini kita semua telah dijadikan kacung dan budak. Terbebasnya masyarakat dari feodalisme abad pertengahan ditandai oleh kemerdekaan masyarakat untuk berswakarya atau untuk memilih bentuk pendapatannya sendiri. Hingga 150 tahun yang lalu, bekerja untuk orang lain masih dianggap sebagai sesuatu yang hina, yang hanya dilakukan secara sementara karena ditimpa krisis, atau terbatas dilakukan oleh mereka yang tak mampu mandiri. Dengan kehadiran bank-bank, keadaan itu dengan cepat berubah menjadi keadaan di mana khalayak mau tidak mau harus bekerja untuk orang lain, karena jika tidak mereka tak akan bisa memiliki apapun.
Awalnya, para bankir merekayasa ‘kekuatan pasar’ (melalui tingkat suku bunga) supaya manusia-manusia mandiri dijadikan “para pekerja” dan selanjutnya ketika suku bunga semakin didongkrak maka para pekerja pun menjadi penganggur. Dosanya bukan karena saya tidak bisa mendapat pekerjaan, namun karena saya telah dikutuk untuk bekerja bagi orang lain, karena saya tidak punya kesempatan secelah pun untuk berwirausaha dan berswakarya, baik sendirian maupun, misalnya, bersama 50 orang lainnya.
Timbulnya Sosialisme
Sosialisme lahir untuk memerangi keadaan yang mengerikan itu. Sosialisme pada masa awal kejadiannya, sama sekali berbeda dengan Sosialisme menurut anggapan kita kini, bukan saja berbeda bahkan bertentangan. David Ricardo (salah satu ekonom yang jadi panutan Karl Marx), menyatakan bahwa penyebab pengangguran adalah kehadiran mesin-mesin saat revolusi industri. Namun kaum sosialis tidak puas dengan kesimpulan itu.
Bakunin menetapkan bahwa sosialisme adalah “peruntuhan negara”. Yaitu negara sebagai penyelenggara pemungutan pajak, yang hasilnya berperan mutlak demi pembayaran utang negara kepada bank-bank (sebagaimana yang kini terjadi), padahal pajak merupakan perintang perdagangan.
Di Dresden, Richard Wagner merumuskan bahwa revolusi adalah “pemerintahan tanpa negara, dan perniagaan tanpa riba”. Joseph Pierre Proudhon pun menuduh riba sebagai “biang kerok kelumpuhan industri”.
Sosialisme merupakan perlawanan pada negara administratif dan pada bank-bank, demi menegakkan pemerintahan tanpa pajak-pajak, dan perdagangan tanpa bank-bank.
Pembajakan Atas Sosialisme
Karl Marx, cucu seorang rabbi Yahudi, di bawah penugasan Mr. Rothschild (Bos Freemason Inggris), membuat teori nilai tambah (surplus value) dengan menyelewengkan makna riba.
Dalam bahasa Ibrani (bahasa Yahudi), riba disebut tarbith, yang arti harfiahnya adalah peningkatan nilai. Dagang tidak sama dengan riba. Dagang adalah mendatangkan keuntungan dari membeli dan menjual, setidaknya ada dua transaksi yang terjadi. Riba adalah mengambil untung dari satu transaksi, menuntut lebih dari yang sedikit (contohnya membungakan uang).
Marx berkata bahwa perdagangan menciptakan nilai tambah (atau riba), sedangkan transaksi ribawi tidak akan menciptakan nilai tambah (riba). Seiring dengan itu Marx mengagungkan konsep Negara yang secara munafik disebutnya sebagai Worker’s State (Negara Milik Para Pekerja), lalu dia pun meninggikan derajat sang pekerja upahan menjadi sesuatu yang sangat ideal dan bernilai kepahlawanan tinggi (bukannya sebagai keterpaksaan menjadi hamba negara dan hamba para bankir).
Dengan pertolongan para Freemason (The Fraternal Democrats ?” Persaudaraan Demokrat, the League of the Just ?”Liga Keadilan, dan lainnya), Karl Marx telah merampas revolusi Eropa milik Proudhon dan Bakunin, dan menjelma menjadi kebalikannya.
Sosialisme modern bukanlah sosialisme (peruntuhan Negara), sosialisme modern adalah Marxisme. (*)
(Bersambung ke bagian kedua)
*Penulis adalah Ulama Islam Pakar Muamalat asal Spanyol sekarang menetap di Turki.
*Tulisan hasil terjemahan ke Bahasa Indonesia
Tidak ada komentar