x

Gerakan Akademisi dan Kesamaan Isu Produksi Hasto

waktu baca 4 menit
Senin, 18 Mar 2024 15:21 0 176 adminmetrosuar

OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI

INFORMASI publik Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai pilpres untuk 35 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia menyatakan bahwa paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memperoleh 81,47 juta suara (59,03 persen) sebagai calon pemenang pertama.
Paslon Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar memperoleh 32,42 juta suara (23,49 persen). Paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memperoleh 24,13 juta suara (17,48 persen).

Implikasinya adalah pertama, pilpres berlangsung satu putaran dan tidak ada putaran kedua. Kedua, pengumuman penetapan pilpres oleh KPU berpotensi selesai sebelum 20 Maret 2024.

Sementara itu pengumuman pileg masih dalam proses kelengkapan data rekapitulasi berita acara C hasil untuk dapat diumumkan pada tanggal yang sama.

Ketiga, meskipun hasil rekapitulasi suara kali ini KPU menampilkan C hasil secara berjenjang sejak dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, namun dialog Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada televisi Liputan6 per 15 Maret 2024 masih mengatakan bahwa suara paslon Ganjar-Mahfud dikunci oleh KPU pada posisi 17 persen.

Akan tetapi sekalipun pada kemajuan tahapan rekapitulasi KPU sebelumnya membuktikan bahwa perolehan suara paslon pernah mencapai 20 persen (tidak dikunci).

Artinya, tidak ada bukti nyata bahwa KPU bertindak mengunci perolehan suara paslon Ganjar-Mahfud pada angka 17 persen sebagaimana prediksi hitung cepat.

Pada sisi yang lain, Sekjen PDIP terkesan berusaha keras untuk membangun ketidakpercayaan publik dengan mengangkat isu kecurangan pemilu 2024, yakni sebelum KPU menetapkan pemenang pemilu menjelang pengumuman tanggal 20 Maret 2024.

Informasi yang diucapkan oleh Sekjen sama persis dengan aspirasi dari gerakan akademisi. Gerakan akademisi yang semula mengingatkan pemerintah tentang gerakan anti demokrasi, anti pelanggaran etika, anti pelanggaran moralitas periode sebelum pemilu 14 Februari 2024 dan sesudahnya.

Ternyata pernyataan Sekjen dalam dialog tersebut sama persis dengan pengungkapan gerakan akademisi, yang sejak semula menolak adanya kesamaan pendapat dengan parpol (menolak kesamaan opini dengan parpol).

Kegagalan gerakan akademisi sebagaimana masih terjadi peluang kemenangan pertama pilpres berada pada paslon Prabowo-Gibran.

Meskipun demikian, gerakan akademisi diulang dilakukan kembali menjelang pengumuman penetapan pemenang pemilu oleh KPU menjelang 20 Maret 2024, yang terkesan menolak potensi hasil pemenang pemilu 2024 sekalipun menggunakan alasan lain-lain yang senantiasa isu diperbarui.

Kali ini penyampaian isu kecurangan pemilu 2024 ternyata sama persis dengan dialog Sekjen, namun masih belum dapat dipastikan tentang apakah terdapat kepastian adanya konstruksi dalam membangun kerja sama konkret tersembunyi mengenai pengonstruksian kecurangan pemilu 2024.

Meskipun demikian, fakta yang terjadi adalah ketika paslon Ganjar Mahfud sebagaimana data informasi publik KPU di atas berpeluang kalah pilpres, dimana perbedaan suara mencapai 49,05 juta suara.

Maknanya adalah sungguh amat sangat sulit untuk paslon Ganjar Mahfud berpotensi menang dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa selisih jumlah suara pemenang pilpres, sekalipun tim sukses paslon menggunakan isu kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).

Pengungkapan TSM masih terjadi dan hendak digulirkan kepada MK, sekalipun pada UU Pemilu 7/2017 semestinya isu kecurangan TSM menjadi kewenangan Bawaslu untuk melakukan persidangan sengketa kecurangan secara TSM.

Oleh karena itu dalam dialog televisi Liputan6 di atas, maka Sekjen menganalisis penyebab kekalahan paslon Ganjar-Mahfud menggunakan isu kecurangan.

Kecurangan akibat penggelontoran bansos. Kecurangan akibat intimidasi ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dan aparat penegak hukum kepada Kepala Desa (Kades) dan Kepala Kelurahan (Kalur), maupun isu tekanan dan intimidasi dari pemerintah kepada pejabat kepala daerah dan penegak hukum.

Isu kecurangan yang seperti ini juga sama persis yang disampaikan dalam aspirasi gerakan akademisi dan pernyataan Sekjen pada acara dialog di atas.

Artinya, isu kecurangan sebagai alibi yang serba sama untuk kekalahan paslon Ganjar-Mahfud itu sungguh amat sangat mencurigakan dalam upaya untuk membangkitkan eskalasi parlemen jalanan menjelang pengumuman pemilu oleh KPU.

Meskipun demikian akademisi memperluas eskalasi kekhawatiran bukan hanya dibatasi terhadap kecurangan pemilu, melainkan diperluas kepada urusan penurunan demokrasi, maupun berbagai informasi, yang seolah menjadi dalang sebagai segala masalah yang terjadi sebagai akibat dari kesalahan pemerintah.

Serba dikemukakan informasi yang memberatkan pemerintah, yang berharap bukan hanya gerakan akademisi dan Sekjen terkesan seolah hendak membangun amuk massa revolusi sosial, pengadilan rakyat, dan lainnya sebagainya sebagaimana proses kejatuhan Presiden Soeharto pada Mei 1998, sekalipun kondisi sosial ekonomi dan politik, maupun posisi UUD 1945 yang berbeda. Juga koordinator parlemen jalanan terbukti senantiasa gagal memperbesar dan memperburuk kondisi eskalasi demonstrasi.

Jadi penolakan hasil pemilu oleh gerakan akademisi, Sekjen, dan petisi 100, maupun gerakan protes-protes petisi politik lainnya. Akumulasi gerakan yang terkesan untuk berusaha menjatuhkan pemerintahan yang sah, dengan sejuta argumentasi ketidakcocokan.

Kali ini ketidakcocokan terhadap hasil pilpres yang berpeluang besar memenangkan paslon Prabowo-Gibran. Ketidakcocokan terhadap peluang kekalahan paslon Ganjar-Mahfud. Bukan hanya jalur politik pengguliran hak angket, yang terkesan timbul tenggelam dalam dinamika di DPR RI.

Akibatnya, paling tidak sangat terkesan tentang sebagian personel gerakan akademisi dan inisiator parlemen jalanan untuk hendak mengganggu pengumuman penetapan pemenang pemilu KPU.

Lebih dari itu, ujaran kebencian terkesan dibangkitkan secara berkelanjutan terus menerus kepada kepala negara dan kepala pemerintahan untuk dijatuhkan melalui konstruksi kecurangan (dan semua alasan lainnya).
Artinya, kekalahan Ganjar-Mahfud kali ini terkesan dijadikan momentum untuk mematangkan kegiatan revolusi sosial, atau reformasi jilid kedua. (*)

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x