OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
HASTO Kristiyanto, orang kedua dalam partai terbesar sepanjang era pasca reformasi ini, PDIP, sudah berbulan-bulan terakhir menjadi musuh utama Jokowi, petugas partainya sendiri.
Serangan-serangannya terhadap Jokowi telah menyematkan posisinya sebagai oposan Jokowi sejajar dengan Rocky Gerung, yang pernah menyatakan Jokowi sebagai bajingan tolol.
Serangan Hasto antara lain: (1) Mengembuskan isu Jokowi memaksa PDIP diserahkan padanya dari tangan Bu Mega. (2) Gibran sekelas dengan sopir truk yang menabrak banyak orang di kejadian GT Halim beberapa hari lalu.
(3) Pengangkatan KSAU baru adalah karena KKN istri Jokowi. (4) Pengangkatan pejabat pejabat sarat koncoisme Solo, termasuk promosi sespri istri Jokowi untuk Cawalkot Bogor. (5) Khilaf mendukung Gibran jadi Walikota Solo.
(6) Gibran membohongi Megawati pada Agustus 2023 bilang tidak maju Cawapres. (7) Jokowi ternyata membangun Indonesia dengan utang besar-besaran yang akan membawa dampak negatif bagi Indonesia ke depan.
Banyak lagi serangan Hasto kepada Jokowi dan keluarganya. Melihat kualitas tuduhan itu, Hasto telah menempatkan Jokowi sebagai penjahat di negara ini.
Kejahatan tersebut berkaitan dengan hancurnya demokrasi; penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan keluarga; melanggar konstitusi; memenjarakan ulama dan aktivis; menyuburkan korupsi di Indonesia, bahkan dengan skala triliunan; dan membuat oligarki merajalela merampas tambang-tambang dan sumber daya alam kita.
Hasto menyejajarkan Jokowi dengan Soeharto, yang ditumbangkan rakyat pada tahun 1998 lalu.
Menariknya, Hasto pada saat bersamaan mengatakan bahwa tidak ada problem antara Megawati dan Prabowo Subianto, pemenang Pilpres versi KPU. Hal ini menunjukkan fokus Hasto hanya menyerang Jokowi dan keluarganya saja.
Sebelum Hasto, penyematan Jokowi sebagai penjahat dilakukan oleh Rocky Gerung. Dalam pidatonya di hadapan pimpinan Serikat Buruh KSPSI, pimpinan Jumhur Hidayat, beberapa bulan sebelum pemilu lalu, Rocky mengatakan bahwa Jokowi tidak memikirkan keselamatan bangsa.
Cawe-cawe Jokowi yang marak saat itu, hanyalah bukti bahwa Jokowi sibuk dengan upayanya sendiri untuk kepentingan sendiri. Buruh yang marah karena ditindas melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, menurut Rocky harus turun ke jalan, memacetkan jalan-jalan, memberontak. Jokowi adalah bajingan tolol, kata Rocky.
Meskipun banyak orang orang yang mengkritik atau bahkan menghina Jokowi, terutama dari kalangan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sepanjang Jokowi berkuasa, namun hanya Hasto dan Rocky-lah yang melakukan suatu kecaman level tertinggi.
Perbedaan Perspektif
Meski Hasto dan Rocky melakukan serangan dahsyat atas Jokowi, namun keduanya mempunyai perspektif yang berbeda. Pertama, Hasto melakukan serangan terhadap Jokowi karena adanya pengkhianatan Jokowi terhadap partai PDIP.
Hal ini dapat dianalisa dari sikap PDIP yang tidak melakukan kritik atas Jokowi pada saat Jokowi sudah melakukan pelencengan praktik kekuasaan.
Jika Hasto mengatakan bahwa Jokowi setara dengan Soeharto, maka analisa itu mempunyai konsekuensi bahwa tindakan pelencengan yang dilakukan Jokowi telah berlangsung lama, bukan hanya beberapa bulan terakhir ini.
Pernyataan Hasto bahwa PDIP khilaf dalam mendukung Gibran di Solo karena silau dengan Jokowi, menunjukkan kurang pekanya PDIP atas fakta-fakta yang dikritisi di kemudian hari. Seperti, mengatakan bahwa ternyata keberhasilan Jokowi ditopang utang negara menganga begitu besar.
Begitu pula ketika Hasto menunjukkan praktik-praktik “Solonisasi” pejabat negara, seperti pengangkatan KSAU, seolah-olah hal baru. Padahal Hasto tahu itu aroma KKN yang sudah berlangsung lama.
Rocky, sebaliknya, menyerang Jokowi konsisten sebagai oposan dalam perspektif pemikiran akal sehat. Kritik Rocky tentang isu Jokowi 3 periode, “perampokan” tambang-tambang nikel, mafia minyak goreng langka, penghancuran demokrasi, tuduhan Munarman teroris, dan UU Omnibus Law penindas buruh dilakukan dalam kerangka membangun keseimbangan nasional, di mana kaum oposisi perlu mengoreksi jalannya kehidupan bernegara.
Apalagi ketika parpol dan DPR hampir semua menjadi bagian kekuasaan Jokowi.
Dalam kasus Munarman yang dituduh teroris, Rocky, misalnya, mengetengahkan bahwa diskusi Khilafah bukanlah teroris. Menurutnya Munarman dapat dikategorikan brutal, namun kemudian bertransisi menjadi pembawa FPI sebagai gerakan sosial. Rocky malah menuduh istana “memelihara” Musuh dalam selimut dengan isu-isu terorisme. Sebuah penyakit lama.
Dalam permisalan yang lain, Rocky menyampaikan apresiasi terbuka kepada Megawati ketika Mega tidak menyetujui rencana Jokowi atau pendukungnya pada isu perpanjangan jabatan maupun presiden 3 periode. Ini sebuah sikap Rocky yang adil. Padahal diketahui bahwa saat itu PDIP sejatinya tulang punggung kekuasaan Jokowi.
Perbedaan perspektif antara Hasto dan Rocky berimplikasi kepada 3 hal sebagai berikut:
Pertama, terjadi penguatan tuduhan bahwa Jokowi memang seorang penjahat. Pernyataan Hasto, karena merupakan petinggi partai PDIP, mengonfirmasi tuduhan-tuduhan selama ini dari kaum oposisi bahwa Jokowi memang melakukan kejahatan terhadap negara, konstitusi dan kelangsungan kehidupan berbangsa.
Kedua, semua fitnah dan kekejaman Jokowi terhadap kaum oposisi maupun pengkritiknya, seperti pemenjaraan saya dan kawan-kawan oposisi lainnya, tidak mempunyai landasan kuat. Negara ternyata menjadi aktor jahat (state crime). Sehingga pemerintahan ke depan perlu merehabilitasi semua korban kejahatan rezim Jokowi.
Ketiga, upaya kekuatan rakyat untuk memakzulkan Jokowi ataupun menghalangi keberlangsungan dinasti Jokowi, seperti penyingkiran Gibran di dalam kekuasan, mendapatkan legitimasi yang kuat.
Penutup
Serangan serangan Hasto kepada Jokowi yang intensif belakangan ini menjadi penguat bagi rakyat untuk meyakini bahwa Jokowi merupakan penjahat bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia.
Hasto yang merupakan pemimpin PDIP di mana Jokowi sebagai kader maupun petugas partainya, mempunyai kekuatan otokritik atau self- introspection untuk menilai Jokowi. Kedudukan Hasto lebih tinggi dari orang-orang istana yang menyangkal Hasto, apalagi relawan Jokowi.
Meskipun terdapat perbedaan perspektif, gerakan tajam Hasto ini telah memperkuat kecamatan Rocky Gerung bahwa Jokowi adalah bajingan tolol. Begitu juga memperkuat kecaman-kecaman lainnya dari kaum oposisi bahwa Jokowi berbahaya bagi negara.
Pemerintahan baru ke depan harus mampu menyingkirkan dinasti Jokowi dan memulihkan martabat korban politik Jokowi, khususnya rehabilitasi semua tahanan politik dan narapidana politik orde Jokowi. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Tidak ada komentar